Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora. Didalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit.
Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Timbal atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit
hingga ke belah timur.
Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
Kebijakan Sunan Kudus Dalam Menyebarkan Agama Islam Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing. Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tangulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur.
Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jakfar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Jakfar Sodio mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan isiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu takkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun. Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kenetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di atasi.
Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.
“Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu ?” tanya sang Amir.
“Dengan do’a,” jawab Jakfar Sodiq singkat.
“Kalau hanya do’a kami sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama
dan Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.”
“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja
kekurangannya sehingga do’a mereka tidak terkabulkan,” kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani Tuan berkata demilian,” kata Amir itu dengan nada berang.
“Apa kekurangan mereka ?”
“Anda sendiri yang menyebabkannya,” kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah
menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga do’a mereka tidak ikhlas.
Mereka berdo’a hanya karena mengharap hadiah.”
Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disiasiakan. Secara
khusu Jakfar Sodiq berdo’a dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah
penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita
sakit keras mendadak saja sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya
kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal
dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itupun dibawa ke Tanah Jawa, di pasang di
pengimaman masjid yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Jakfar Sodiq adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus
atau Tutwuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan
diarahkan sedikit demi sedikit menuju ajaran Islami.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali
mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada
akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan
Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
Cara Berdakwah Yang Luwes
Di Kudus pada waktu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk
mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Juga mereka yang masih
memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit.
Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kusus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut
Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal
besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama
Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu.
Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa.
Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan
dilakukan Sunan Kudus ?
Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru
memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati
rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang
beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah
banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus
membuka suara. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab
di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka
Raden Jakfar Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan
ceramahnya.
“Salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi
atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada
sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus
sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun
juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang
antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Sesudah
berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang
tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan ummat Hindu. Kini Sunan Kudus
bermaksud menyaring ummat Budha.
Caranya? memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid
berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang
berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca diatasnya.
Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga”
yaitu
Harus memiliki pengetahuan yang benar.
Mengambil keputusan yang benar.
Berkata yang benar.
Hidup dengan cara yang benar.
Bekerja dengan benar.
Beribadah dengan benar.
Dan Menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan
Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Didalam cerita
tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang
masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui bersama Rakyat Jawabanyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan
mitoni, neloni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu,
dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini
dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara
selamatan yang disebut yang mitoni sembari minta kepada Dewa bahwa bila anaknya lahir
supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam
bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji
kepada para Dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan boleh di bawa
pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki
akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi
Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam
dalam Al-Qur’an.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan,
kemudian di ikrar hajatkan di ikrarkan oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah
upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di
kuburan atau ditempat-tempat sunyi di lingkungan rumah tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau
mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam
Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas
hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Setelah masuk masjid, rakyat harus membasuh kakinya dan tangannya di kolam yang sudah
disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau,
terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau hanya
bermaksud mengenalnya syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat
malah menjauh. Apa sebabnya ? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat
tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa.
Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus
menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya
menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada
keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh
maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu
kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan
undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak perduli lagi
pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya
lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus
berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan
menghormatinya.
Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung
melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali
menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau
sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
Tantangan Ki Ageng Kedu
Bahwa Sunan Kudus itu seorang Wali berilmu tinggi dan sakti sudah dimaklumi masyarakat, tapi
ada seorang yang merasa lebih sakti daripada Sunan Kudus. Orang itu bernama Ki Ageng Kedu.
Seorang sakti hanya memiliki ilmu peringan tubuh sedemikian rupa sehingga hanya dengan
melemparkan tampah ke udara kemudian dia meloncat hinggap di atas tampah itu diapun
dapat terbang menurut keinginannya.
Pada suatu hari Ki Ageng Kedu yang penasaran atas kesaktian Sunan Kudus ingin mencoba adu
kesaktian. Seperti biasa, dia mengambil tampah kemudian terbang ke daerah Kudus. Orangorang
yang melihatnya merasa kagum dan heran, Ki Ageng Kedu lewat begitu saja dengan
cepatnya di atas rumah-rumah penduduk. Sewaktu berada di daerah Kudus ia tidak langsung
turun dari tampahnya, mala tertawa ngakak berkeliling kota Kudus. Muridmurid Sunan Kudus
sudah penasaran melihat kepongahannya, tapi saat itu Sunan Kudus belum keluar dari Masjid,
beliau masih membaca dzikir seusai shalat. Dia juga tak merasa heran saat keluar dari masjid
melihat Ki Ageng Kedu berteriak-teriak memanggil namanya.
“Hai Sunan Kudus ayo keluarlah! Hadapilah aku Ki Ageng Kedu yang hendak menantangmu adu
kesaktian !”
Tiba-tiba Sunan Kudus menundingkan tangannya ke arah Ki Ageng Kedu sembari berkata, “Aku
di sini Ki Ageng Kedu !”
Seketika tersirap darah Ki Ageng Kedu. Tampah yang dikendarainya mendadak oleng kesanakemari.
Tak terkendalikan lagi, tubuhnya yang ringan mendadak berubah menjadi berat dan
segera tersedot oleh gaya tarik bumi, bahkan seperti dihempaskan oleh tenaga gaib yang tak
tampak oleh mata. Tubuh Ki Ageng Kedu terlempar ke tanah yang becek, yang
dalam bahasa Jawanya disebut Jember, hingga sekarang tempat Ki Ageng Kedu itu jatuh
disebut Jember.
Setelah roboh ke tanah yang becek dan kotor, segala kesaktian Ki Ageng Kedu lenyap seketika.
Dia telah berubah menjadi manusia biasa, tak bisa terbang lagi seperti dulu.
Sunan Kudus Sebagai Seorang Senopati
Sunan Kudus di dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai Senopati atau Panglima Perang
Kerajaan Demak Bintoro. Juga Senopati Waliullah artinya beliau itu menjadi Senopatinya para
Wali. Sebagai Senopati Kerajaan Demak beliau pernah memimpin peperangan melawan
Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung.
Sedangkan sebagai Senopati para Wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti
Jenar, seorang Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap sesat. Pada bagian ini akan
diceritakan secara singkat tugas Sunan Kudus di saat haus berhadapan dengan seorang murid
Syekh Siti Jenar yang masih punya darah keturunan dari Raja Majapahit. Penduduk desa
Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebabnya malam itu terdengar
auman harimau secara terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu
harimau yang mengaum itu akan masuk ke dalam desa.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran.
Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan
itu ada harimaunya.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan
seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus
dan tujuh prajurit Demakyang menyamar sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor
harimau.”
“Aneh, semalam kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,”
Guman tetua desa.
“Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau)
padahal tak ada Sima.” Kata Sunan Kudus.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan desa
Sima. Sunan Kudus kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati
Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Tiga tahun yang lalu, diawal tampak pemerintahan Raden Patah. Patih Wanasalam telah diutus
untuk menemui Ki Ageng Pengging. Tujuannya adalah untuk meminta ketegasan Ki Ageng
Pengging, apakah Ki Ageng Pengging bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro
dan penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja Demak ?
Pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas oleh Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam
orang kepercayaan Raden Patah, memberi batas waktu tiga tahun untuk berfikir dan
menentukan pilihan.
Kini tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan
Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati
Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam
dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga
atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para
prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan di balik baju petani. Tapi sewaktuwaktu
mereka bisa di gerakkan di saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
Hal ini di sadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Raden Patah kemudian memerintahkan
Sunan Kudus untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini. Suasana Kadipaten
Pengging benar-benar lenggang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang
masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas pemerintahan
Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya
seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri
berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini
akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan
dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa
menemui tamu.” Kata pelayan itu.
“Aku bukan tamu biasa,” Kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang
dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh.
Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam
rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu.
Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di
luar atau di dalam? Di atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh
Ki Wanasalam. Patih Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging.
“Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud
ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa
Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini
pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak !
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena
kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu
dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,”
Kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya ingin melihat buktinya.”
“Memang begitu !” Jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan
menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini
raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau
anggap aku ini Allah aku memang Allah !”
Klop sudah! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud
Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid
Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan
senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging
dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati didalam hidup. Saya ingin melihat
buktinya ?”
“Jadi itukah yang dikehendaki Sultan Demak” Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka
kau harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang
mati.” Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng.
“Tusuklah siku lenganku ini ……! Ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan Kuduspun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki
Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah
tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak
Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan
menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan
ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan
bersama-sama mengejar Sunan Kudus. 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh
bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-berteriak memanggil Sunan
Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak
yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar kearah timur, padahal Sunan
Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit
itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti
hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga
tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak
memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini.
Pulanglah !” Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk
Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang
Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak
akan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus.
“Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada
pemimpin kalian.” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka
kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus sangat
dihormat para penguasa pada jamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan Handiwijaya
maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang
Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.